Rabu, 02 Mei 2012

Menjaga Optimisme


Hal yang manusiawi jika seseorang mengalami maju mundur untuk perubahan hidupnya. Maju mundur yang dimaksud di sini adalah keyakinan untuk melakukan perubahan hidup ke arah lebih baik.

Optimisme, inilah keyakinan yang lumrah mengalami pasang surut dalam kehidupan seseorang. Bahkan seorang motivator ulung pun akan merasakan surutnya si optimisme jika ia dalam suatu kondisi tertentu, terlebih lagi jika ia tidak mampu mengendalikan pikirannya.

Kekurangan harta, kelaparan, tidak adanya dukungan dari orang di sekeliling dan penolakan dari lingkungan atau masyarakat adalah merupakan kondisi-kondisi tertentu yang dapat menggoyahkan optimisme.
Sebaliknya, optimisme akan terpacu jika dikelilingi oleh orang-orang yang terus mendorong untuk maju, orang-orang yang menguatkan keyakinan untuk menghadapi tantangan-tantangan yang muncul bahkan jika dalam perjuangan untuk perubahan atau pencapaian sesuatu itu dilakukan bersama orang lain, tidak sendirian. Maka kemungkinan menurunnya semangat sangat kecil sekali.

Faktor Usia

Melemahnya optimisme ini lebih sering menyerang pada usia antara 21 – 28 tahun. Trendnya sekarang di kalangan muda menyebutkan serangan seperti ini adalah gejala GALAU. Terlepas dari penyebutan tersebut, mengapa galau atau surutnya optimisme terjadi pada usia tersebut.

Usia 21 – 28 tahun merupakan, umumnya, usia dalam fase pendewasaan seseorang. Dalam usia tersebut biasanya adalah usia di mana seseorang sedang menyelesaikan Tugas Akhir atau Skripsi untuk meraih gelar pendidikannya, dalam proses mencari pekerjaan, juga masa pencarian pasangan hidup.

Bagi seseorang yang dalam tahapan menyelesaikan kuliahnya, putus asa sering kali terjadi. Ketika penolakan bertubi-tubi datang dari dosen pembimbing dan adanya desakan dari orang tua untuk segera menyelesaikan studi mulai meruwetkan pikiran. Sedih dan merasa tidak kuat akan bertambah jadi saat tidak ada yang mampu membantu atau peduli.

Kemudian setelah meraih gelar pendidikan, seseorang akan mulai terpikir untuk membangun hidupnya sendiri secara mandiri, terutama mandiri finansial. Masalah datang ketika puluhan surat lamaran pekerjaan yang telah dikirim tidak mendapat respon satu pun dari perusahaan yang dituju. Lingkungan sosial yang kerap meragukan kemampuan lulusan perguruan tinggi pun terkadang tidak mampu menjadi pelecut optimisme, malah membuat down.

Gelar sarjana telah diraih, pekerjaan sudah mapan, tetapi masih ada yang terasa kurang dalam kemandirian hidup. Manusia secara kodrati telah diciptakan oleh Tuhan untuk berpasang-pasangan, maka kebutuhan untuk membutuhkan orang lain secara personal memang tidak ter-elakkan. Jadi lah judulnya Galau dalam pencarian tujuan hidup. Usia terus bertambah tiap tahunnya, teman-teman kantor atau seperkumpulan pun telah punya banyak bontot di belakangnya. Optimisme pun menurun ketika tidak jua menemukan pasangan yang pas. Kurang cantiklah atau gantenglah, kurang sopan, tidak pengertian, ekstrimnya lagi pemikiran mengenai status sosial yang berbeda.

Menjaga Optimisme
Tidak ada yang salah jika mengalami surutnya optimisme, hanya saja perlu tindakan yang cerdas untuk mengatasinya sehingga hidup tidak selau dirudung keputusasaan. Berikut beberapa tips untuk menjaga optimisme.

1.    Pengkondisian lingkungan

Jika hidup di dalam lingkungan keluarga atau sosial yang memiliki kecenderungan melemahkan usaha-usaha pencapaian hidup, maka yang diperlukan adalah mengkondisikan lingkungan itu sendiri.

Untuk mengubah mindset orang banyak sangat memerlukan perjuangan dan waktu yang lama. Tetapi yang lebih utama adalah menciptakan mindset sendiri yang tidak terpengaruh dengan kondisi seperti itu. Carilah lingkungan atau teman-teman dengan tipe pribadi yang selalu berpikiran positif dan optimis. Berbagi cerita dengan tipe orang seperti itu akan membukakan pikiran untuk tetap semangat, malahan terkadang mendapatkan solusi dan saran dalam menghadapi situasi.

Namun bila orang-orang seperti itu sulit ditemukan dalam lingkungan Anda atau mungkin tidak banyak membantu, membaca biografi atau profil orang-orang sukses juga mampu membakar api semangat. Banyak kisah hidup orang sukses di Indonesia sendiri atau dari negara lain yang kesuksesannya dibangun dari nol juga hambatan dan tantangan yang mereka hadapi.

Mengubah tampilan atau set ruangan kamar tidur dan meja kerja juga mampu menstimulasi otak untuk optimis. Tempel beberapa kata motivasi di tempat-tempat yang mudah dibaca dalam ruangan tersebut, menggantung foto orang tua atau orang yang disayangi, menyetel lagu-lagu yang bisa menciptakan suasana hati gembira atau menenangkan merupakan cara-cara pengkondisian lingkungan juga. Nilai lebih jika dengan cara-cara tersebut secara tidak sadar Anda telah menularkan energi optimis ke orang sekitar Anda.

2.    Mind Map

Mind Map atau peta pikiran akan membantu menjaga track dalam pencapaian hidup. Rumuskan kembali apa yang ingin dicapai atau tujuan hidup. Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Oppurtunities, Threaths) bisa digunakan dalam menyusun Mind Map.

Penggunaan banyak warna dan gambar dalam Mind Map memudahkan untuk mengingat. Hal ini juga mampu membantu visualisasi Mind Map dalam pikiran. Setelah selesai menyusun Mind Map, lihat kembali dan tanamkan dalam pikiran. Memvisualisasikan kebahagian dan kesuksesan di akhir peta pemikiran dapat menguatkan hati untuk menyegerakan tindakan-tindakan pencapaian.

3.    Meningkatkan Kekuatan Ruhiyah

Hati dan pikiran merupakan entitas dalam kehidupan tiap manusia. Pikiran positif adalah wujud dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih akan mudah dicapai ketika secara ruhiyah orang tersebut memiliki keimanan yang kuat terhadap Sang Pencipta.

Hakikatnya iman seseorang mempunyai kecenderungan naik turun, dan hal ini akan mempengaruhi juga suasana hati dan pikiran. Untuk menjaga hal ini, peningkatan iman melalui ibadah sangat dibutuhkan. Kedekatan dengan Tuhan akan membantu dalam mengkondisikan hati untuk legowo dalam setiap hambatan.

Pada prinsipnya, apa yang akan dijalani dan diterima dalam hidup telah ditetapkan oleh Sang Pemilik Kehidupan. Berhenti dalam campur tangan menentukan akhir pencapaian akan membantu mengurangi stress dalam tahap pencapaian. Berhenti yang dimaksud disini adalah ngotot dalam keadaan yang tidak berpihak. Sebagai contoh, saat tidak kunjung mendapatkan pekerjaan walaupun, dirasakan, usaha sudah maksimal mulai berpikir bahwa Tuhan tidak adil atau tidak sayang. Dalam kondisi tersebut jika ruhiyah atau iman dalam keadaan stabil, maka optimisme akan tetap ada dalam pikiran. Karena saat usaha maksimal, tapi Tuhan berkehendak lain, mungkin inilah jalan yang pantas dilalui untuk mendapatkan “hadiah” dari Tuhan yang besar.

Tetap menjaga ibadah wajib secara rutin ditambah ibadah sunnah benar-benar membantu menjaga pikiran untuk tetap positif dan optimis. Yakin saja, akan ada pelangi di antara rangkaian hujan.

4.    Tetap Fokus dalam Usaha Pencapaian

Masih berkaitan dengan tindakan di atas, tetap fokus dalam usaha pencapaian merupakan wujud dari kekuatan ruhiyah. Penentu hasil akhir usaha-usaha adalah Tuhan, tidak ada yang lain. Sehingga yang perlu diperhatikan adalah usaha atau tindakan yang dilakukan dalam pencapaian sesuatu.

Evaluasi kembali apa yang menyebabkan usaha tersebut belum membuahkan hasil. Bagi yang dalam proses menyelesaikan studi, mungkin apa yang diteliti atau ditulis memang masih terdapat kelemahan. Adanya penolakan dari dosen mungkin dengan tujuan Tugas Akhir tersebut pada saat akan diuji, sedikit kemungkinan untuk menemukan kelemahannya. Sehingga hasil penelitian tersebut akan benar-benar berguna dalam lingkungan akademis bahkan kehidupan.

Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan kualitas diri atau soft skill dalam masa menemukan pekerjaan yang layak akan membuahkan hasil yang sesuai dengan apa yang telah diupayakan. Prinsip No pain, No gain memang berlaku dalam kehidupan ini. Selalu menanamkan pemikiran tersebut akan mampu melecut semangat dalam memfokuskan diri dalam tindakan-tindakan positif. Ketekunan akan berbuah manis, seperti itulah apa yang dijalani para Milyuner di berbagai penjuru dunia. Sebaliknya, upaya instan akan menghasilkan “manis” yang instan pula.

5.    Menjaga Hubungan Baik dengan Orang Tua

Doa orang tua, terutama Ibu, merupakan doa-doa yang akan didengar Tuhan. Restunya Ibu adalah ridhonya Tuhan. Senantiasa mengingat orang tua apalagi usaha-usaha yang mereka lakukan akan menjadi pembakar semangat dalam mengejar impian. Terlebih dengan doa-doa mereka maka Tuhan pun akan membukakan jalan dalam pencapaian tersebut. Seumur hidup usaha yang dilakukan untuk membahagiakan orang tua tak akan pernah sama dengan perjuangan mereka mengantarkan anaknya ke puncak kesuksesan. Bersikap santun dan lemah lembut dengan orang tua adalah salah satu bentuk ungkapan terima kasih atas pengorbanan mereka.

6.    Menghargai Diri Sendiri

Optimisme akan selalu muncul dalam diri bila senantiasa diiringi dengan menghargai diri sendiri. Putus asa tidak akan timbul bila memiliki konsep diri untuk tidak menyalahkan diri sendiri atas kegagalan atau ketertundaan pencapaian. Merendahkan diri sendiri akan melemahkan hati untuk melanjutkan usaha-usaha pencapaian. Merendahkan diri yang dimaksud adalah mengutuk kekurangan yang dimiliki. Sedangkan merendahkan diri dalam konteks mengakui kelemahan sangat disarankan dalam berdoa kepada Tuhan. Nobody is perfect,  keyakinan ini akan membantu merilekskan pikiran dan tetap berbaik sangka pada ketentuanNya.

Selain itu, menghadiahi diri sendiri atas usaha yang telah dilakukan terkadang perlu. Hal ini merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Jalan-jalan, wisata kuliner atau melakukan hal yang disenangi bisa dilakukan, selain untuk memberi reward apa yang sudah diusahakan juga untuk merehatkan pikiran sejenak.

Dari beberapa tips yang dipaparkan di atas, pada dasarnya yang terpenting adalah Keep Positive Thinking. Masih banyak cara-cara lain untuk menjaga optimisme. Bisa ditambahkan sendiri berdasarkan pengalaman pribadi atau kisah orang sukses lainnya. Just Keep Fighting.

Minggu, 08 April 2012

Smart Parenting: Penyebab Anak Stress

Saya selalu tertarik dengan proses pendidikan, bukan saja dalam kerangka institusional namun juga untuk ruang lingkup yang sederhana yaitu, keluarga.

Pendidikan dalam keluarga adalah bekal awal anak untuk "siap dilepas" di lingkungan sosial. Berikut ada kutipan artikel dari www.kompas.com yang mengupas mengenai penyebab anak stress seperti yang dipaparkan oleh Rustika Thamrin, Spsi, CHt, CI, MTLT, psikolog dari Brawijaya Women and Children Hospital


1. Melarang anak menangis
Semua orangtua pasti ingin anaknya menjadi anak yang hebat. Namun seringkali orangtua tidak menyadari bahwa kata-kata motivasi yang diberikan justru membebani anak, dan mungkin saja membuat mereka menjadi stres. "Beban dan tekanan ini terutama dialami oleh anak laki-laki dibanding perempuan, karena di kultur Indonesia laki-laki itu dianggap mahluk yang paling kuat sehingga tidak boleh menunjukkan kelemahannya sedikit pun," ungkapnya.
Pola pikir anak-anak dan dewasa berbeda. Anak, terutama pada balita, hanya akan menyerap kata-kata yang terdengar, dan belum bisa memprosesnya dengan sempurna seperti yang dilakukan orang dewasa. Misalnya, ketika anak terjatuh dari sepeda dan kemudian menangis. Jika yang terjatuh adalah anak perempuan, orangtua biasanya akan membiarkannya untuk menangis. Tetapi ketika yang mengalami adalah anak laki-laki, orangtua pasti akan melarangnya menangis diiringi pesan, "Kamu tidak boleh menangis", "Kamu kan laki-laki, tidak boleh cengeng", atau "Kamu kan anak laki-laki yang kuat, luka ini tidak ada apa-apanya."
Sekilas, tak ada yang salah dengan kalimat tersebut, karena tujuannya memotivasi anak untuk tidak cengeng. Namun, ketika diserap oleh otak anak, kalimat ini akan memiliki arti yang berbeda. Kalimat tersebut akan diterima sebagai sebuah perintah, yang akan selalu ada di otak mereka sampai dewasa. Masuknya perkataan ini ke otak anak akan membuat anak selalu menahan tangisnya, dan memendam perasaan sedihnya. Hal inilah yang membuat anak menjadi stres. "Tidak heran kalau laki-laki jarang dan malu menangis, karena dari kecil sudah dijejali dengan perkataan seperti itu. Padahal orang sah-sah saja untuk menangis dan mengeluarkan perasaan mereka," tambah Rustika. Menangis boleh saja, yang harus dikontrol adalah frekuensinya.

2. Perilaku orangtua tidak konsisten

Menurut penelitian, anak-anak usia 1-7 tahun akan lebih mudah menyerap berbagai hal di sekitarnya melalui bahasa tubuh seseorang (90 persen), intonasi suara (7 persen), dan kata-kata (3 persen). "Orangtua yang plin-plan akan membuat anak kebingungan, dan akhirnya stres karena orangtuanya tidak konsisten," tambahnya. Seharusnya orangtua bersikap tegas dalam mendidik anak, dan antara suami dan istri bekerjasama agar tercapai kata sepakat. Misalnya, anak dihukum ketika melakukan sebuah kesalahan. Namun ketika ia mengulangi kesalahannya, orangtua tidak menghukumnya. Bahasa tubuh orangtua yang tidak konsisten ketika menghadapi masalah yang sama, seperti kadang bersikap galak dan kadang baik, akan membuat anak tertekan.

3. Membeda-bedakan anak

Banyak orangtua yang secara tak sadar membeda-bedakan anaknya. Meski dalam perbuatan tidak terlalu terlihat, namun intonasi suara yang turun naik ketika menghadapi kakak dan adik akan membuat anak merasakan adanya pembedaan sikap orangtua. "Ketika adik kakak berkelahi, biasanya nada bicara orangtua akan lebih lembut ke adik dibanding kakak, karena mengganggap bahwa kakak yang sudah lebih dewasa harus mengalah," bebernya. Intonasi suara yang berbeda ketika menghadapi kakak dengan nada yang keras, dan adik dengan nada yang lembut, akan membuat si kakak merasa si adik lebih disayang dan ia pun menjadi tertekan.

4. Labeling pada anak
Salah satu yang paling berbahaya yang dilakukan orangtua kepada anak adalah memberi label atau cap kepada anak. Kata-kata seperti, "Dasar kamu anak pemalas", atau "Kamu kegemukan, makanya pakai baju apa saja tidak ada yang cocok", atau "Kamu kok lemot sih, nggak pinter seperti kakakmu?". Hati-hati, labeling, apalagi yang diiringi dengan tindakan membanding-bandingkan anak, tak hanya membuat anak merasa tertekan, tetapi juga mengalami luka batin yang akan terbawa hingga ia dewasa.

5. Terlalu sering melarang
Ketika anak berusia 4-6 tahun, anak sedang berada dalam zona kreatif dengan peningkatan rasa ingin tahu dan ingin belajar yang sangat tinggi. Namun, sikap kreatif anak dan daya ekplorasinya dianggap sebagai kenakalan orangtua, lalu berusaha membatasi gerak mereka. "Jangan main di sana", atau "Jangan dipegang-pegang!", dan masih banyak kata larangan lain yang digunakan orangtua untuk membatasi kreativitas anak. Meski memiliki tujuan yang baik agar si anak tidak terluka, namun kata-kata "jangan" dan "tidak" ternyata bisa membuat anak menjadi stres karena mereka tidak bebas untuk melakukan apapun.
Gunakan kata-kata lain yang lebih baik untuk mengarahkan anak, sehingga anak akan menerimanya dengan positif. Anak akan mengerti bahwa Anda melarangnya melakukan hal tersebut karena berbahaya, dan bukan karena tidak sayang pada anak. "Kalau selalu dilarang, suatu saat anak bisa mencuri-curi untuk melakukannya saat Anda tidak tahu," ujar Rustika.

Semoga sedikit tulisan ini berguna untuk menciptakan generasi-generasi yang baik.

Senin, 30 Januari 2012

Aku Benci Dia



“Aku benci dia”

Dalam catatan hidup kita, mungkin ada satu dua orang yang pernah mendatangkan luka. Apa respon yang biasanya muncul? Marah? Kemudian benci? Selanjutnya mendendam?

Pada umumnya yang pertama kali muncul dalam perasaan orang yang disakiti adalah kesedihan. Dan kemudian timbul pemikiran dengan kemarahan bahwa tidak selayaknya diperlakukan seperti itu oleh orang tersebut. Dari sini lah benci berawal, dan tak sedikit yang selanjutnya melahirkan rasa dendam yang bersemayam dalam dada.

Benci? Apa hak kita untuk membenci? Karena kita lebih baik yang berarti lebih sempurna dari orang itu? Tidak, kita semua sama manusia. Dalam kapasitas yang sama, memiliki kecenderungan berbuat salah. Layaknya banyak kaum arif yang berkata, hanya ketakwaan yang membedakan kita. Lantas siapa yang tahu kadar ketakwaan seseorang? Tidak ada, selain Rabbul izzati.

Dalam shirah nabawiyah pun tak pernah tercatat bahwa Rasulullah membenci seseorang yang telah melukai hatinya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan kalian saling hasad, jangan saling mencurangi, jangan saling membenci, jangan saling menjauhi, jangan kalian menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membohonginya dan tidak boleh menghinanya” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga bersabda: “Orang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

Sepotong kisah yang mungkin akan membantu dalam memaknai benci yang tidak dibenarkan:
Suatu ketika di Gaza, (dalam sebuah pasukan) ada seorang dari suku Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang Anshar tadi pun berteriak: “Wahai orang Anshar, ayo berpihak padaku”. Orang Muhajirin tersebut pun berteriak: “Wahai orang Muhajirin, ayo berpihak padaku”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun mendengar kejadian tersebut, beliau bersabda: “Pada diri kalian masih terdapat seruan-seruan Jahiliyyah”. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah mendorong seorang dari suku Anshar”. Beliau bersabda: “Tinggalkan sikap yang demikian, karena yang demikian adalah perbuatan busuk” (HR. Al Bukhari).

Jadi semakin jelas, kerangka membenci harus dikarenakan oleh Allah, bukan karena dorongan nafsu semata. Rasa sakit karena perbuatan orang lain mungkin masih membekas, dengan belajar melihat kekurangan dalam diri sendiri bisa membantu menghilangkan rasa benci dan dendam.

Mungkin saat ini orang tersebut telah menyakiti Anda, bisa jadi di lain waktu atau pada masa lampau Anda juga pernah secara sadar atau tanpa sadar menyakiti orang lain dengan perbuatan atau ucapan. Apa yang Anda harapkan setelah menyadarinya selain penerimaan maaf dari orang tersebut. Dan pastinya kita juga tidak ingin hidup dalam kebencian orang lain.


Marah memang diperbolehkan, sebagai suatu reaksi dari aksi. Marah lah sewajarnya sehingga hati tak akan terkukung dalam kebencian.


Sabtu, 14 Januari 2012

Trend Perjuangan Indonesia Era Demokrasi


Masih ingat mata pelajaran Sejarah pada masa sekolah dulu? Pada umumnya materi pelajarannya berkisar pada cerita perjuangan merebut kemerdekaan. Perjuangan melawan kolonial, baik dengan kekuatan atau pun ideologi. Sosok berkararakter kuat, berpendirian, visioner dan peduli terhadap rakyat kecil pun tergambar kuat dalam benak kita. Bagaimana dengan keras dan pantang mundurnya para pahlawan berusaha menggusur kolonial dari tanah air. Inilah tipe perjuangan zaman pra kemerdekaan.

Beda zaman, beda pula medannya. Saat ini tidak ada lagi meneer yang hilir mudik di pedesaan yang merongrong rakyat untuk meminta secara paksa akan hasil keringat mereka. Upeti itu lah nama yang lebih familiar. Bukan zamannya lagi menuntut dengan mengacungkan bambu runcing. Tahu potret perjuangan sekarang? Tentunya dipengaruhi medan juangnya juga.

Ini zaman reformasi, bung. Setiap orang bebas bersuara, menyatakan pendapat. Begitulah sekarang. Musuh bukan lagi para meneer berambut pirang. Tapi saudara setanah air sendiri. Setiap harinya mata dan telinga kita telah dibiasakan dengan kabar kreativitas para pengunjuk rasa dari berbagai penjuru pulau. Bakar ban, bakar gedung, bakar diri, jahit mulut. Dan yang terbaru, yang lebih menggelikan adalah wakil rakyat desa (Kepala desa beserta perangkatnya) mendemo wakil rakyat pula (Presiden dan keroconya).

Dari demo para kepala desa itu seharusnya kita pun bisa sama-sama mengkaji. Orang yang punya jabatan wakil rakyat pun tidak didengarkan oleh wakil rakyat yang lebih tinggi. Wajar saja kalau rakyat biasa lebih memilih memprotes menghakimi diri sendiri dengan cara jahit mulut dan bakar diri. Atau bisa jadi juga di negeri ini sebenarnya isinya lebih banyak orang-orang yang ngotot ingin segera diwujudkan keinginannya.

Tidak heran jika sekarang seminar atau pelatihan yang dipadati oleh pesertanya adalah yang berbicara tentang pemulihan jiwa, hypnotheraphy, atau bisa dikatakan cara mengatasi diri sendiri.

Inilah realita sekarang. Perjuangan yang tidak lagi menyakiti orang lain untuk mendapatkan keadilan, tapi malah menyakiti diri sendiri. Dan juga bukan lagi perjuangan melawan orang lain, tapi perjuangan melawan (ego) diri sendiri.