Senin, 30 Januari 2012

Aku Benci Dia



“Aku benci dia”

Dalam catatan hidup kita, mungkin ada satu dua orang yang pernah mendatangkan luka. Apa respon yang biasanya muncul? Marah? Kemudian benci? Selanjutnya mendendam?

Pada umumnya yang pertama kali muncul dalam perasaan orang yang disakiti adalah kesedihan. Dan kemudian timbul pemikiran dengan kemarahan bahwa tidak selayaknya diperlakukan seperti itu oleh orang tersebut. Dari sini lah benci berawal, dan tak sedikit yang selanjutnya melahirkan rasa dendam yang bersemayam dalam dada.

Benci? Apa hak kita untuk membenci? Karena kita lebih baik yang berarti lebih sempurna dari orang itu? Tidak, kita semua sama manusia. Dalam kapasitas yang sama, memiliki kecenderungan berbuat salah. Layaknya banyak kaum arif yang berkata, hanya ketakwaan yang membedakan kita. Lantas siapa yang tahu kadar ketakwaan seseorang? Tidak ada, selain Rabbul izzati.

Dalam shirah nabawiyah pun tak pernah tercatat bahwa Rasulullah membenci seseorang yang telah melukai hatinya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan kalian saling hasad, jangan saling mencurangi, jangan saling membenci, jangan saling menjauhi, jangan kalian menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membohonginya dan tidak boleh menghinanya” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga bersabda: “Orang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

Sepotong kisah yang mungkin akan membantu dalam memaknai benci yang tidak dibenarkan:
Suatu ketika di Gaza, (dalam sebuah pasukan) ada seorang dari suku Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang Anshar tadi pun berteriak: “Wahai orang Anshar, ayo berpihak padaku”. Orang Muhajirin tersebut pun berteriak: “Wahai orang Muhajirin, ayo berpihak padaku”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun mendengar kejadian tersebut, beliau bersabda: “Pada diri kalian masih terdapat seruan-seruan Jahiliyyah”. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah mendorong seorang dari suku Anshar”. Beliau bersabda: “Tinggalkan sikap yang demikian, karena yang demikian adalah perbuatan busuk” (HR. Al Bukhari).

Jadi semakin jelas, kerangka membenci harus dikarenakan oleh Allah, bukan karena dorongan nafsu semata. Rasa sakit karena perbuatan orang lain mungkin masih membekas, dengan belajar melihat kekurangan dalam diri sendiri bisa membantu menghilangkan rasa benci dan dendam.

Mungkin saat ini orang tersebut telah menyakiti Anda, bisa jadi di lain waktu atau pada masa lampau Anda juga pernah secara sadar atau tanpa sadar menyakiti orang lain dengan perbuatan atau ucapan. Apa yang Anda harapkan setelah menyadarinya selain penerimaan maaf dari orang tersebut. Dan pastinya kita juga tidak ingin hidup dalam kebencian orang lain.


Marah memang diperbolehkan, sebagai suatu reaksi dari aksi. Marah lah sewajarnya sehingga hati tak akan terkukung dalam kebencian.


Sabtu, 14 Januari 2012

Trend Perjuangan Indonesia Era Demokrasi


Masih ingat mata pelajaran Sejarah pada masa sekolah dulu? Pada umumnya materi pelajarannya berkisar pada cerita perjuangan merebut kemerdekaan. Perjuangan melawan kolonial, baik dengan kekuatan atau pun ideologi. Sosok berkararakter kuat, berpendirian, visioner dan peduli terhadap rakyat kecil pun tergambar kuat dalam benak kita. Bagaimana dengan keras dan pantang mundurnya para pahlawan berusaha menggusur kolonial dari tanah air. Inilah tipe perjuangan zaman pra kemerdekaan.

Beda zaman, beda pula medannya. Saat ini tidak ada lagi meneer yang hilir mudik di pedesaan yang merongrong rakyat untuk meminta secara paksa akan hasil keringat mereka. Upeti itu lah nama yang lebih familiar. Bukan zamannya lagi menuntut dengan mengacungkan bambu runcing. Tahu potret perjuangan sekarang? Tentunya dipengaruhi medan juangnya juga.

Ini zaman reformasi, bung. Setiap orang bebas bersuara, menyatakan pendapat. Begitulah sekarang. Musuh bukan lagi para meneer berambut pirang. Tapi saudara setanah air sendiri. Setiap harinya mata dan telinga kita telah dibiasakan dengan kabar kreativitas para pengunjuk rasa dari berbagai penjuru pulau. Bakar ban, bakar gedung, bakar diri, jahit mulut. Dan yang terbaru, yang lebih menggelikan adalah wakil rakyat desa (Kepala desa beserta perangkatnya) mendemo wakil rakyat pula (Presiden dan keroconya).

Dari demo para kepala desa itu seharusnya kita pun bisa sama-sama mengkaji. Orang yang punya jabatan wakil rakyat pun tidak didengarkan oleh wakil rakyat yang lebih tinggi. Wajar saja kalau rakyat biasa lebih memilih memprotes menghakimi diri sendiri dengan cara jahit mulut dan bakar diri. Atau bisa jadi juga di negeri ini sebenarnya isinya lebih banyak orang-orang yang ngotot ingin segera diwujudkan keinginannya.

Tidak heran jika sekarang seminar atau pelatihan yang dipadati oleh pesertanya adalah yang berbicara tentang pemulihan jiwa, hypnotheraphy, atau bisa dikatakan cara mengatasi diri sendiri.

Inilah realita sekarang. Perjuangan yang tidak lagi menyakiti orang lain untuk mendapatkan keadilan, tapi malah menyakiti diri sendiri. Dan juga bukan lagi perjuangan melawan orang lain, tapi perjuangan melawan (ego) diri sendiri.