Selasa, 27 Desember 2011

Seni Konseling


Manusia diciptakan oleh Tuhan tidak untuk sendiri. Manusia merupakan makhluk sosial. Sehingga kebutuhan akan sesama maupun makhluk lain adalah kodrat kita sebagai manusia. Sebagai makhluk sosial kita berinteraksi dengan orang lain. Tujuannya pun beragam bisa untuk kepentingan bisnis, untuk pencapaian tujuan yang sama (organisasi), dan juga untuk kepentingan pribadi atau bisa disebut kebutuhan akan teman.

Tuhan adalah sosok yang adil. Dia tidak meminta semua kasih dan cinta makhluknya hanya untukNya. Karena itulah Dia berikan makhluknya rasa kasih, butuh dan cinta untuk sesama makhluknya.

Di dunia yang semakin berkembang ini, tuntutan hidup ikut pula bertambah. Masalah-masalah pun terkadang menuntut penyelesaian yang cepat dan matang. Tidak bisa dipungkiri manusia terkadang membutuhkan orang lain untuk membantunya menyelesaikan problema hidup. Atau sekedar untuk berbagi, ikut merasakan masalah yang dihadapi. Terkadang hal ini dirasakan cukup bagi sebagian orang.

Di perusahaan tempat saya bekerja, kebutuhan seperti hal tersebut di atas menjadi perhatian oleh departemen kami, Human Capital Departement. Dalam departemen kami ada program “Month of Counselling” sebagai wujud kepekaan kami atas hal tersebut. Konselor perusahaan adalah seluruh staff Human Capital, termasuk saya sendiri.

Banyak hal yang saya dapatkan dari komunikasi antar personal, informasi, pengetahuan, pengalaman, dan pembelajaran yang mungkin tidak saya dapatkan jika tidak adanya program ini. Konseli yang saya hadapi pun mempunyai latar belakang beragam; pendidikan, keluarga, ekonomi, komunitas sosial.

Para konseli juga merupakan karyawan di perusahaan tempat saya bekerja, hanya saja berbeda departement. Mereka cukup antusias mengikuti program ini. Selalu saja menarik dari tiap cerita yang mereka tuturkan. Bagi saya sendiri setiap sesi konseli merupakan hal yang menarik juga bagi saya. Setiap konseli yang mendatangi saya pada awalnya mereka berpikir bahwa sesi konseli tidak akan menyita banyak waktu. Namun ternyata, setelah satu persatu cerita mereka tuturkan, waktu dua jam yang telah mereka gunakan pun tak terasa. Pernah salah satu konseli sebelum memasuki ruangan saya bertanya pada temannya yang sudah saya konseling,

“koq kamu lama amat di dalam, Ton? Ditanyain apa aja sama bu Lusi?”
”Cuma ngobrol-ngobrol biasa aja, Pak,” jawabnya sambil tersenyum.

Dan setelah si bapak penanya ini selesai menjalani sesi konseling bersama saya, keluar ruangan saya dan melihat jam di atas pintu ia pun terkejut, “waduh bu Lusi, ternyata saya lebih lama dari Pak Anton, “ ujarnya dengan diiringi tawa lepasnya.

Saya hanya tersenyum. Rekan-rekan sesama HC saya pun mengerti mengapa mereka tanpa sadar telah menghabiskan waktu dua jam dalam sesi konseling.

Yang perlu dimengerti dari konseling adalah mindset tentang konseling itu sendiri. Pada dasarnya konseling bukanlah sesi intervieuw atau tanya jawab antara konselor dan konseli. Konseling merupakan sesi di mana konseli menceritakan permasalahannya dan konselor membantu menemukan penyelesaiannya.

Konselor yang baik dan benar adalah konselor yang mampu menggerakkan konseli bercerita dengan lugas. Lugas berarti ia bisa dengan nyaman bercerita dengan jujur dan penuh rasa. Bukanlah hal yang tepat jika konselor mengemukakan pandangan pribadinya atas permasalahan si konseli, terlebih ia menjudge konseli atau pada orang-orang dalam cerita si konseli.

Yang perlu dilakukan konselor adalah:
1. Mendengarkan seksama cerita/ permasalahan si konseli;
2. Menganalisa cerita/ permasalahan;
3. Membingkai ulang (reaframing) masalah;
4. Membantu konseli menganalisa sumber masalah;
5. Membantu konseli menemukan solusi melalui diskusi analisa masalah dan uji SWATT solusi;
6. Selalu menggunakan kata-kata positif

Solusi akan lebih mudah diterima oleh konseli bila konselor menggunakan kata-kata positif dalam penyampaian bukan kata-kata perintah. Misal, “Mulai sekarang Bapak JANGAN lagi merokok.” Kata-kata ini tentu saja akan ditolak mentah-mentah oleh konseli. Karena kata “JANGAN” itu bernada perintah.

Cobalah dengan katakan, “Alangkah baiknya jika Bapak mulai saat ini uang yang sering Bapak gunakan untuk membeli rokok ditabung untuk pendidikan si kecil. Dan pada saat si kecil telah menamantkan sarjananya, Bapak bisa tertawa sambil berkata Wah, ini hasil jatah uang rokok saya dulu.” Bisa dipastikan si konseli pun akan sumringah dan melangkah ke luar ruangan konseling dengan penuh rencana positif.

Sebenarnya sifat dari manusia itu sendiri, tidak semuanya membutuhkan bantuan pandangan atau ide dalam pemecahan masalahnya. Terkadang kita hanya butuh orang yang mendengarkan dan berempati terhadap masalah kita. Mungkin sedikit gambaran solusi juga dibutuhkan. Tapi keputusan final mengenai solusi yang akan digunakan kembali pada masing-masing pribadi.

Di sini lah pentingnya pemahaman posisi sebagai konselor. Konselor adalah pemandu/ pengarah kepada solusi yang tepat. Tujuan konselor yang sebenarnya adalah membuat konseli pada saat keluar ruangan konseling dipenuhi semangat dan rencana tindakan yang tepat. Dan tujuan konseli sendiri adalah menemukan solusi pemecahan masalah. Berikut hal-hal yang boleh dan tidak dilakukan oleh konselor agar tujuan konselor dan konseli tercapai:
1. Jangan melihat jam/ waktu
2. Usahakan tetap fokus melihat konseli, sesekali bisa melihat ke arah samping kiri-kanan konseli untuk meregangkan otot mata. Namun jangan melihat ke arah jendela atau luar ruangan, karena perhatian si konseli akan terpecah.
3. Berikan pujian yang wajar pada hal-hal istimewa yang diceritakan konseli. Hal ini mampu membuat konseli nyaman dan merasa didengarkan.
4. Jangan terprovokasi untuk memberikan pandangan pribadi terhadap isi cerita konseli.
5. Sebelum sesi konseling, pelajari dahulu latar belakang konseli. Dengan adanya informasi mengenai konseli, konselor mendapatkan gambaran awal tentang konseli yang akan dihadapinya. Hal ini bermanfaat untuk membantu konselor mempersiapkan diri menghadapi karakter konseli.

Konseling merupakan ketrampilan dalam memahami dan menghadapi bermacam-macam karakter. Pemahaman atas karakter tidak hanya bisa didapatkan dari buku-buku, namun pergaulan dalam kehidupan sosial pun dibutuhkan. Sejatinya konselor harus orang yang telah mengenal karakternya sendiri juga mampu menganalisa problem dan solusi sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar